ASPEK HUKUM MERGER BANK SYARIAH
oleh : Ahmad Satiri
Wakil Ketua PA Sukamara
PENDAHULUAN
Tepat tanggal satu Februari yang lalu publik telah menyaksikan sejarah baru geliat ekonomi syariah dibidang perbankan dengan bersatunya (baca merger) tiga bank syariah besar yaitu Bank Syariah Mandiri, bank BNI Syariah dan Bank BRI Syariah. Pilihan merger tiga bank syariah merupakan hasil kajian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan syariah yang telah dibentuk oleh pemerintah dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional dan mendorong percepatan pengembangan sektor keuangan syariah, pemerintah secara khusus mendirikan KNKS pada tanggal 8 November 2016 agar dapat meningkatkan efektifitas, efisiensi pelaksanaan rencana pembangunan nasional bidang keuangan dan ekonomi Syariah. Selanjutnya sejak diundangkan tanggal 10 Februari 2020, pemerintah melakukan perubahan Komite Nasional Keuangan Syariah menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah yang bertujuan meningkatkan pembangunan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah guna mendukung pembangunan ekonomi nasional.
Pilihan untuk melakukan merger tiga bank syariah yang kemudian bertranformasi menjadi Bank Syari’ah Indonesia, tentu bukanlah pilihan yang mudah. Tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah diantaranya harus didukung dengan eksistensi entitas bisnis syari’ah diantaranya Bank Syariah yang mampu bersaing di pasar global.
Keputusan untuk melakukan menimbulkan repon yang berbeda beda diantara para pakar dan pelaku ekonomi syariah, ada yang pro dan juga ada yang kontra. Dalam salah satu diskusi yang digagas Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah beberapa waktu yang lalu, salah seorang pembicara menyatakan bahwa salah satu problem yang mungkin akan timbul sebenarnya dari tujuan yang ingin dicapai dalam rangka meningkatkan market standing bank syari’ah bukanlah merger, akan tetapi penambahan modal salah satu bank syariah agar mampu melakukan ekspansi pasar, selain itu adalah komitmen pemerintah untuk menggunakan jasa perbankan syariah dalam pelaksanaan anggaran belanja baik pusat maupun daerah, kalau saja ditetapkan prosentase tertentu dari pelaksanaan anggaran dan pendapatan belanja baik pusat maupun daerah maka sudah dapat dipastikan market standing bank syariah akan naik secara signifikan.
Disisi lain penulis melihat bahwa merger bank syariah mempunyai karakteristik khusus dibandingkan dengan merger yang terjadi di bank konvensional, untuk itu penulis mengamati beberapa potensi problem yang dapat terjadi pada merger beberapa bank syariah yang akan menjadi bahasan utama tulisan ini, sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaruh merger terhadap akad-akad yang sudah eksisting?
b. Apakah diperlukan akad baru antara nasabah (Funding dan Financing) dengan pihak bank?
Dua persoalan tersebut patut untuk dikaji mengingat baha terdapat karakteristik unik dan rigid yang menjadi distingsi bank syariah dibandingkan bank konvensional.
PEMBAHASAN
a. Pengertian Merger
Merger dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti penggabungan dua (atau lebih) perusahaan di bawah satu pimpinan.Selanjutnya dalam Undang Undang Perseroan Nomor 40 Tahun 2007 membedakan antara penggabungan dan peleburan. Pasal 1 ayat (9) menyatakan bahwa “Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”. Dengan kata lain penggabungan adalah kegiatan perseroan yang karena hukum berakhir karena menggabungkan diri dengan perseroan lain tanpa membuat perseroan baru.
Pengertian “penggabungan” pada Pasal 1 ayat (9) tersebut identik dengan bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 29 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menegaskan bahwa ” Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.
Terdapat istilah lain dalam Undang undang perseroan mengenai merger yaitu peleburan, sebagaimana diafirmasi dalam Pasal 1 ayat 10 yang berbunyi : ” Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum”. Atau dengan kata lain berakhirnya dua atau lebih perseroan dengan cara melebur membuat perseroan baru.
Mengenai peleburan perseroan yang juga terdapat pada Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 menyatakan bahwa : “Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum”.
Apa yang terjadi dengan Bank Syari’ah Indonesia, pengabungan atau peleburan?, mengingat beberapa bank syariah yang sudah ada menjadi berakhir dan berganti nama menjadi Bank Syariah Indonesia.
Dari laman resmi website Bank Syariah Indonesia yang penulis dapati yaitu www.bankbsi.co.id, pada menu company profile dinyatakan sebagai berikut : “Pada 1 Februari 2021 yang bertepatan dengan 19 Jumadil Akhir 1442 H menjadi penanda sejarah bergabungnya Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah menjadi satu entitas yaitu PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI). Penggabungan ini akan menyatukan kelebihan dari ketiga Bank Syariah sehingga menghadirkan layanan yang lebih lengkap, jangkauan lebih luas, serta memiliki kapasitas permodalan yang lebih baik. Didukung sinergi dengan perusahaan induk (Mandiri, BNI, BRI) serta komitmen pemerintah melalui Kementerian BUMN, Bank Syariah Indonesia didorong untuk dapat bersaing di tingkat global. Penggabungan ketiga Bank Syariah tersebut merupakan ikhtiar untuk melahirkan Bank Syariah kebanggaan umat, yang diharapkan menjadi energi baru pembangunan ekonomi nasional serta berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Keberadaan Bank Syariah Indonesia juga menjadi cerminan wajah perbankan Syariah di Indonesia yang modern, universal, dan memberikan kebaikan bagi segenap alam (Rahmatan Lil ‘Aalamiin)”.
Dari uraian diatas terdapat keyword yang menyatakan bahwa Bank Syariah Indonesia merupakan entitas hasil Penggabungan dari tiga Bank Syariah, yaitu Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah dan Bank BRI Syariah.
Kemudian perubahan nama BRI Syariah sebagai Bank Penerima penggabungan menjadi Bank Syariah Indonesia merupakan hasil dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar biasa (RUPSLB) yang dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 2020. Diantara salah satu point penting dalam risalah RUPSLB acara keempat huruf (a) menyatakan bahwa “ Mengubah Nama perseroan menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk.”
Oleh karenanya dapat difahami bahwa perubahan nama Perseroan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia dilakukan sebelum moment penggabungan beberapa bank syariah yang lain sehingga jelas bahwa Nama Bank Syariah Indonesia bukan nama baru hasil penggabungan, karenanya tepat jika nomenklaturnya adalah “penggabungan” bukan “Peleburan” sebagaimana dimaksud ketentuan Undang Undang Perseroan dan Undang Undang Perbankan Syariah.
b. Aspek Hukum Merger
1) Dalam Perspektif Hukum Positif
Membahas mengenai akibat hukum dari penggabungan perusahaan (merger) perlu diketahui syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi sehingga suatu perusahaan dapat melakukan penggabungan (merger) dengan perusahaan lain. Syarat yang pertama, menurut penjelasan pasal 126 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, adalah bahwa penggabungan tidak dapat dilaksanakan apabila merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini yang termasuk pihak-pihak tertentu adalah kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kepentingan kreditor, mitra usaha lainnya dari perseroan, kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Syarat kedua berdasarkan penjelasan pasal 123 ayat 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bagi perseroan tertentu yang akan melakukan penggabungan harus memperoleh persetujuan dari instansi terkait. Perseroan tertentu artinya perseroan yang mempunyai bidang usaha khusus, antara lain lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Dan yang dimaksud dengan instansi terkait adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk penggabungan perseroan yang bergerak di bidang perbankan.
Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum akan menimbulkan konsekuensi hukum tertentu bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini konsekuensi hukum dari penggabungan perusahaan (merger) terhadap eksistensi perusahaan Perseroan Terbatas yang diambil alih adalah berakhir karena hukum (Pasal 122 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), sedangkan perusahaan Perseroan Terbatas yang mengambil alih tetap memakai nama dan identitasnya. Jika dilihat dari pembagian saham, maka bagi pemegang saham dari perusahaan Perseroan Terbatas yang menggabungkan diri hanya berhak memiliki sebatas saham yang digabungkan saja sedangkan bagi pemegang saham dari perusahaan Perseroan Terbatas yang mengambil alih, berhak memiliki saham yang lebih dominan daripada perusahaan Perseroan Terbatas yang menggabungkan diri. Setelah terjadinya penggabungan perusahaan (merger).
Berakhirnya badan hukum perseroan karena penggabungan tanpa adanya likuidasi kemudian berimplikasi pada beberapa hal sebagai berikut :
- Aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan.
- Pemegang saham perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan.
- Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal penggabungan atau peleburan mulai berlaku.
Kemudian sejak kapan perusahaan yang menggabungkan diri resmi bubar. Berdasarkan analisa laman dunia notaris.com, perseroan yang menggabungkan diri resmi bubar sejak.
- Perseroan yang menggabungkan diri bubar, terhitung sejak tanggal persetujuan menteri atas perubahan anggaran dasar bila penggabungan menyertakan perubahan anggaran dasar perseroan.
- Perseroan yang menggabungkan diri bubar terhitung sejak tanggal pendaftaran akta penggabungan dan akta perubahan anggaran dasar perseroan dalam Daftar Perusahaan. Apabila penggabungan perusahaan disertai perubahan anggaran dasar, namun perubahan tersebut tak perlu mendapat persetujuan Menteri Hukum dan HAM.
- Perseroan yang menggabungkan diri bubar, terhitung sejak tanggal penandatanganan akta penggabungan. Apabila penggabungan perseroan tanpa disertai perubahan anggaran dasar
Beralihnya aktiva dan passiva perseroan yang menggabungkan diri kedalam perseroan penerima penggabungan dalam dunia perbankan dapat diartikan bahwa nasabah pembiayaan/debitur yang dalam neraca keuangan termasuk katagori aktiva serta dana pihak ketiga (nasabah deposan) dan modal yang termasuk passiva beralih menjadi “milik”perusahaan penerima penggabungan.
Dari uraian tersebut secara hukum positif aktiva dalam hal ini akad-akad penyaluran dana dapat secara otomatis menjadi milik atau dilanjutkan dengan bank penerima merger (survivor). Demikian pula dengan passiva baik berupa modal dan dana pihak ketiga lainnya sebagai simpanan atau tabungan dan deposito serta akun passiva lainnya menjadi hak bank penerima penggabungan.
Pasal 2 angka 2 PP 28/1999 menyatakan, dalam merger, aktiva dan pasiva bank yang melakukan merger beralih karena hukum kepada bank hasil merger. Jadi, simpanan dari nasabah penyimpan dana juga ikut beralih demi hukum kepada bank hasil merger.
2) Perspektif Hukum Ekonomi Syari’ah
Karakteristik akad syariah yang diaplikasikan dalam bisnis perbankan mempunyai karakter yang unik dan berbeda dengan bank konvensional. Produk penghimpunan dana dan penyaluran dana mempunyai karaktr yang berbeda sesuai dengan akad yang menjadi dasar perikatan antara nasabah dengan bank.
Secara umum dalam aspek penghimpunan dana terdapat berapa akad utama yaitu mudharabah (kerjasama usaha) dan wadi’ah (titipan). Dengan berakhirnya eksistensi salah satu pihak yang berakad secara hukum apakah kemudian otomatis berpindah secara serta merta akad tersebut kepada entitas lain.
Secara konseptual merger bank syariah lebih kompleks dibandingkan dengan merger bank konvensional. Hal utamanya adalah karena karakter produk bank syariah sesuai dengan karakter akadnya yang komoleks sehingga dikhawatirkan terjadi hal hal yang merusak akad pada perjalannya. Kekhawatiran ini sebagaimana diungkap oleh Desy Yusrah mantan karyawati sebuah bank syariah, pernah mengelola salah satu BPR Syariah di Jakarta. Menurutnya perbedaan akad nasabah dan bank dalam kaitannya dengan bagian bagian akad yang spesifik perlu menjadi perhatian dalam merger bank syariah. “Bisa jadi nasabah Bank Syariah Mandiri mendapatkan bagi hasil lebih besar daripada nasabah Bank BRI Syariah. Namun karena bagi hasilnya disamaratakan, maka yang terjadi adalah hilangnya hak nasabah Bank Syariah Mandiri atas bagi hasil yang lebih besar. Ini berarti prinsip adil dan amanah dalam perbankan syariah telah ternoda sejak awal operasional”.
Contoh lain adalah terkait bagi hasil yang diterima oleh deposan. Salah satu titik kritisnya adalah bagi hasil saat bulan pertama bank bergabung tidak dapat serta merta disamakan equivalent rate-nya karena harus dilakukan konsolidasi keuangan yang akurat dan menyeluruh. Hal ini karena uang deposan diinvestasikan dalam portofolio yang berbeda sesuai dengan asal bank sebelum merger. Belum lagi masalah nisbah bagi hasil deposito yang berbeda beda antara tiga bank tersebut dengan nasabah. Pada tahun 2020 nisbah deposito nasabah bank syariah yang melakukan penggabungan dapat diuraikan sebagai berikut :
Nama Bank |
Tenor 1 Bulan |
Tenor 3 Bulan |
Tenor 6 Bulan |
Tenor 12 Bulan |
|
Bank BNI |
43% : 57% |
44% : 56% |
45% : 55% |
46% : 54% |
|
Syariah |
|||||
|
|
|
|
||
Bank BRI |
Sesuai |
Sesuai |
Sesuai |
Sesuai |
|
Syariah |
kesepakatan awal kesepakatan awal kesepakatan awal kesepakatan awal |
||||
Bank Mandiri |
Sesuai |
Sesuai |
Sesuai |
Sesuai |
|
Syariah |
kesepakatan awal kesepakatan awal kesepakatan awal kesepakatan awal |
Dari kajian penulis terhadap fatwa – fatwa yang diterbitkan DSN MUI hingga kini berjumlah 138 fatwa tidak ditemukan satu pun fatwa yang membahas mengenai merger pada entitas bisnis keuangan syariah.
Pendapat DSN MUI mengenai merger ini dapat kita simak dari beberapa sumber media, diantaranya ada yang mengutip pendapat Sekretaris Bidang Perbankan Syariah BPH Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Muhammad Maksum mengatakan merger ini tidak menyisakan masalah karena penggabungan usaha dilakukan sesama bank syariah. Catatan krusial baru muncul seandainya merger dilakukan bank syariah dengan bank konvensional.
Pendapat lain disampaikan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ah. Azharuddin Lathif yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Edukasi, Sosialisasi dan Literasi/DSN-MUI Institute. Beliau menganalogikan merger tiga bank syariah dengan ibadah salat berjemaah. Dalam ilustrasinya, Azharuddin menyebut merger PT BRI Syariah Tbk., PT Bank Syariah Mandiri, dan PT BNI Syariah seperti orang yang salat jamaah di musala milik sendiri.
Dari beberapa pendpat tersebut memberikan indikasi bahwa dalam mainstream DSN MUI tidak ada problem hukum syari’ah yang timbul dalam persoalan merger tiga bank syariah tersebut.
Sebagaimana difahami bahwa setiap akad syariah mempunyai karakter tersendiri terutama terkait dengan produk penghimpunan dana yang relatif lebih menimbulkan kerumitan, dalam hal deposito misalnya yang pasti menggunakan akad mudharabah dengan tenor 1,3, 6 dan 12 bulan sudah barang tentu akan terjadi perbedaan nisbah bagi hasil antara shahibul mal (nasabah) dengan pihak mudharib (bank). Bagaimana pihak BSI mengantisipasi hal tersebut?. Mengenai hal ini dapat dilihat pada publikasi yang diterbitkan BSI melalui website www.bankbsi.co.id dibawah artikel “QnA auto migration ke rekening BSI dari Kantor Cabang BSD (ex Bank BRI Syariah) dan kantor cabang Jakarta Barat ( ex-BNI Syariah)” dinyatakan bahwa bahwa “Proses auto migration tidak mempengaruhi nisbah tabungan/ deposito yang diterima nasabah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa migrasi akad nasabah tabungan dan deposito tidak merubah nisbah, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan perbedaan nisbah dari nasabah nasabah yang berasal dari bank bank yang berbeda beda tersebut, tentu akan berbeda nisbah bagi hasil sesuai dengan akad awal. Hal ini meupakan problem yang harus dijawab oleh pihak BSI mengingat salah satu dasar ekonomi syariah adalah prinsip keadilan (‘adalah) yang juga harus dijadikan pedoman dalam berakad dengan nasabah yang lain.
Solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan pembaruan akad dengan nasabah baik tabungan dan deposito yang sudah jatuh tempo dan akan di renewal ketika nasabah melakukan migrasi dari bank asal ke rekening bank BSI. Tentu memerlukan waktu yang cukup lama mengingat nasabah relatif banyak, namun hal ini lebih memberikan kepastian hukum kepada pihak bank dan nasabah.
Sistem teknologi perbankan yang sudah canggih pasti dapat mengakomodir perbedaan nisbah, namun demikian demi keadilan dalam tranksaksi keuangan syari’ah
maka pembaharuan akad dan saling rela dalam berakad hal itu penting untuk dilakukan.
Untuk nasabah pembiayaan problem yang mungkin muncul relatif kecil terjadi karena akad-akad esksisting sudah disepakati sampai waktu tertentu. Problem yang mungkin muncul adalah terkait dengan dokumen jaminan pembiayaan, seperti SHT, Cessie dan Dokumen Jaminan lain yang sudah tertera dalam akad pembiayaan. Termasuk pula dokumen permohonan eksekusi hak tanggungan yang sedang berjalan di pengadilan.
Hal-hal tersebut kemungkinan muncul karena dengan berakhirnya entitas perusahaan yang bergabung kepada perusahaan penerima penggabungan (survivor) maka dalam dokumen dokumen eksisting dianggap mutatis mutandis dengan dokumen merger dan sudah dianggap diketahui publik.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan hal - hal sebagai berikut; Pertama, Merger secara umum tidak mempengaruhi perikatan yang sudah terjadi antara bank dan nasabah, bank penerima penggabungan (survivor) tinggal melanjutkan akad-akad yang sudah berlangsung sampai dengan berakhirnya akad tersebut.
Kedua, mengenai akad penghimpunan dana berupa deposito yang sudah jatuh tempo maka diperlukan akad baru untuk menyesuaikan dengan kebijakan bank survivor agar terjadi keadilan dalam menentukan nisbah bagi hasil. Sedangkan untuk akad penghimpunan dana berupa tabungan mudharabah hendaknya diadakan pembaharuan akad agar perbedaan nisbah dari bank legacy kepada produk bank survivor tidak terjadi. Sehingga nasabah dapat diperlakukan secara adil.
Langkah pemerintah melalui KNKES melakukan kajian merger bank-bank syariah BUMN patut untuk diapresiasi dalam upaya meningkatkan pangsa pasar dan penetrasi serta pertumbuhan bank syariah secara khusus dan ekonomi syariah secara umum, mudah mudahan sesuai dengan harapan, wallahu a’lam.
DAFTAR BACAAN
Asmawati, Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Akibat Meger Bank, Artikel, Jurnal Ilmu Hukum, 2014
Desy Yusrah., https://news.detik.com/kolom, titik kritis proses merger bank syariah, diakses pada 13 Maret 2021
Wahyu Suwena Putri,et.al, Akibat hukum penggabungan perusahaan (merger) Pada perusahaan perseroan terbatas, artikel, tth, ttp