HAWALAH, ANTARA CESSIE. SUBROGASI DAN NOVASI
Oleh : Ahmad Satiri S.Ag.,M.H
(Wakil Ketua Pengadilan Agama Sukamara)
PENDAHULUAN
Implementasi ekonomi syariah kedalam dunia bisnis saat ini merupakan hal yang sudah tidak asing lagi, seiring dengan arah kebijakan pemerintah yang telah melakukan merger bank-bank syariah plat merah. Target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat perkembangan ekonomi syariah memang patut diapresiasi. Salah satu lembaga yang mempunyai peran penting dalam pembentukan format dan pengembangan ekonomi syariah secara nasional adalah KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah). Bukti keseriusan pemerintah dalam memajukan dan mengembangkan ekonomi syariah nampak memperoleh perkembangan yang signifikan dengan merger yang sudah dilakukan sejak 1 Februari 2021 lalu antara 3 bank syariah BUMN yaitu Bank BNI Syariah, BRI Syariah dan Bank Syariah Mandiri.
Ekonomi syariah yang dibangun berdasarkan hukum ekonomi Islam yang diimplementasikan dalam dunia ekonomi saat ini mempunyai titik singgung secara konseptual dan pragmatis, sumber sumber hukum ekonomi syariah yang merujuk kepada fatwa fatwa Dewan Syariah Nasional dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi syariah) serta peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Hukum Ekonomi Syariah vis a vis dengan hukum perdata umum mempunyai beberapa kemiripan dan dan kesamaan yang dibangun atas asas keadilan dan kesetaraan dalam melaksanakan akad. Disamping itu pula terdapat beberapa perbedaan yang didasari atas prinsip prinsip syariah yang sering disingkat dengan Maghrib (Maysir, gharar, riba dan bathil).
Salah satu mekanisme dalam hukum ekonomi syariah yang mempunyai padanan dengan praktik ekonomi konvensional adalah konsep hawalah. Hawalah secara sederhana dapat diartikan dengan pengalihan hutang (debt transfer), terdapat beberapa lembaga yang mempunyai ketersinggungan antara konsepsi hawalah ini yaitu cessie, novasi dan subrogasi walaupun secara keseluruhan mempunyai konsepsi umum yang berbeda, namun tedapat beberapa bagian praktis yang hampir mirip.
Hal ini menarik untuk dibahas dalam rangka memberikan gambaran konkrit yang jelas empat lembaga tersebut ketika dipraktikkan dalam ekonomi syariah. Apakah secara keseluruhan diperbolehkan atau terdapat rambu rambu khusus sehingga praktek selain hawalah, yaitu cessie, novasi dan subrogasi secara keseluruhan dapat diprakekkan dalam bisnis syariah.
PEMBAHASAN
A. Definisi dan ketentuan praktis
1. Hawalah
Secara etimologi, kata “al-hawalah” dalam huruf ha’ akan dibaca kasrah atau kadang ada juga yang dibaca fathah, dan berasal dari kata “at-tahawwul” yang artinya pemindahan/pengalihan (intiqal). Ada juga orang Arab yang mengatakan “Hala ‘anil’ahdi” yaitu melepaskan dari tanggung jawabnya.
Abdurrahman Al-Jazairi juga berpendapat bahwa dari aspek bahasa al-hiwalah merupakan “Perpindahan dari tempat lama ke tempat yang baru. Islam membenarkan hawālah dan membolehkannya karena ia diperlukan.Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa RasulullahSAW bersabda:
عبتيلف ىلم ىلع مكدحأ عبتأ اذإف ، ملظ ىنغلا لطم
Artinya: “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatukezaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawālah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawālah itu’
Pengertian hawalah juga dikemukakan oleh beberapa ulama yang berbeda-beda dalam menjelaskannya, antara lain:
a. Menurut Idris Ahmad, Hiwalah adalah Sejenis ijab qabul yang digunakan untuk pemindahan utang dari orang yang mempunyai tanggungan ke orang yang berhutang, dimana orang tersebut mempunyai hutang ke orang yang memindahkannya.
b. Menurut Zainul Arifin yang dikutip dari buku Abdul Ghofur Anshori yaitu perpindahan utang ke pihak yang lain. Yaitu pihak pertama (muhil), kedua (muhal), dan ketiga (muhal ‘alaih). xxx
c. Menurut Hanafiyah yaitu, beban utang dari tanggung jawab pihak pertama akan dipindahkan ke tanggungjawab pihak ketiga yang mempunyai tanggungan membayar.
d. Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, yaitu pembayaran utang yang menggunakan cara pemindahan hak kepada pihak yang yang mempunyai tanggungan.
Dalam Kompilasi Hukum ekonomi Syariah kata hawalah didefinisikan dengan : pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal‘alaih (pasal 20 angka 13).
Untuk mengurai unsur – unsur Hawalah, Pasal 362 KHES menguraikan rukun hawalah sebagai berikut :
Rukun Hawalah/pemindahan utang terdiri atas:
a. Muhil/peminjam;
b. Muhal/pemberi pinjaman;
c. Muhal ‘alaih/penerima hawalah;
d. Muhal bihi/utang; dan e. Akad.
Dalam upaya menjembatani konsep fiqh dalam aplikasi ekonomi syari’ah, Dewan Syariah Nasional telah menerbitkan dua Fatwa mengenai hawalah yaitu :
1. Fatwa Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 13 April 2000 tentang Hawalah
2. Fatwa Nomor 58/DSN-MUI/V/2007 Tanggal 30 Mei 2007 tentang Hawalah bil ujrah
Fatwa pertama (12/DSN-MUI/IV/2000) menguraikan mengenai ketentuan umum dalam akad hawalah sebagai berikut :
1. Rukun hawalah adalah muhil ( ليحملا ), yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal ( ل اتحملا وا لاحملا ), yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih ( هيلع لاحملا ), yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih ( هب لاحملا ), yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara- cara komunikasi modern.
4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Sedangkan fatwa kedua membahas tentang hawalah bil ujrah. Dengan ketentuan umum sebagai berikut :
1. Hawalah bil ujrah hanya berlaku pada hawalah muthlaqah.
2. Dalam hawalah muthlaqah, muhal ’alaih boleh menerima ujrah/fee atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
3. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
4. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
5. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara- cara komunikasi modern;
6. Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang terkait.
7. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
8. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
9. LKS yang melakukan akad Hawalah bil Ujrah boleh memberikan sebahagian fee hawalah kepada shahibul mal.
Fatwa DSN Nomor 58 membagi bentuk hawalah kepada dua macam yaitu hawalah mutlaqah dan hawalah muqayyadah. Hawalah muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah. Sedangkan Hawalah muthlaqah adalah hawalah dimana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ’alaih.
Secara konseptual hawalah dilihat dari objeknya terdiri dari dua jenis yaitu :
a.Hawalah al Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
b. Hawalah al Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Hak. Pada hakikatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan terdahulu.
Hawalah dalam aplikasi bisnis syariah di implementasikan dalam beberapa produk yaitu :
a.Factoring (Anjak piutang), dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga.
b.Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.Bill discounting, secara prinsip serupa dengan hiwalah, hanya saja dalam bill discounting nasabah hanya membayar ujrah.
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah umumnya untuk membantu suplier dalam mendapatkan modal tunai sehingga mereka dapat melanjutkan kegiatan usahanya. Dalam ini bank mendapat upah ganti biaya atas jasa pemindahan hutang. Untuk mengantisipasi dan mengatasi kerugian yang akan terjadi pihak bank perlu melakukan analisa atas kemampuan pihak yang berhutang dan adanya kebenaran transaksi antara yang berhutang dan yang memindahkan hutang. Karena kebutuhan suplier akan likuiditas, maka ia meminta pihak bank untuk menagihkan piutang dan bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
2. Cessie
Black Laws Dictionary menerangkan Cessie yang dalam bahasa Inggris disebut dengan cession, mempunyai tiga makna yaitu :
1) The act of relinquishing property rights;
2) The relinquishing or transfer of land from one state to another, esp. When a state defeated in war gives up the land, as part of the price of peace;
3) The land so relinquished or transferred.
Cessie dalam definisi ini memiliki hubungan antara penyerahan hak-hak properti yang disempitkan dalam bidang pertanahan.1
Prof Subekti memberikan pengertian cessie dengan pemindahan hak piutang, yang sebetulnya merupakan penggantian orang berpiutang lama, yang dalam hal ini dinamakan cedent, dengan seseorang berpiutang baru, yang dalam hubungan ini dinamakan cessionaris. Pemindahan itu harus dilakukan dengan suatu akta otentik atau di bawah tangan, jadi tak boleh dengan lisan atau dengan penyerahan piutangnya saja. Agar pemindahan berlaku terhadap si berutang, akta cessie tersebut harus diberitahukan padanya secara resmi (betekend). Hak piutang dianggap telah berpindah pada waktu akta cessie itu dibuat, jadi tidak pada waktu akta itu diberitahukan pada si berutang.2
KUHPerdata tidak mengenal istilah cessie, tetapi dalam Pasal 613 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta autentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Dari hal tersebut dapat dipelajari bahwa yang diatur dalam Pasal 613 ayat (1) adalah penyerahan tagihan atas nama dan benda-benda tak bertubuh (intangible goods) lainnya.
Dalam praktik perbankan syariah cessie diaplikasikan pada jaminan tidak berwujud seperti piutang atau hak tagih atas suatu hutang, contoh implementasinya adalah akad mudharabah antara bank syariah dengan BPRS dimana BPRS menjadikan piutang kepada nasabah (hak tagih) sebagai jaminan pembiayaan mudharabah kepada bank syariah yang memberikan pembiayaan.
Fatwa DSN Nomor 103/DSN-MUI/X/2016 menyinggung sekilas tentang cessie dalam transaksi novasi subyektif dengan menyatakan : “Bentuk novasi subjektif aktif (penggantian da'in) dengan kompensasi ('Iwadh) dalam hukum perdata Indonesia dikenal dengan Cessie” (Bagian Ke-enam angka 5);
Fatwa DSN Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 menyinggung sekilas tentang cessie dalam tarnsaksi novasi subyektif dengan menyatakan : “Bentuk subrogasi yang disertai dengan kompensasi dalam hukum perdata Indonesia dikenal dengan Cessie” (Bagian Ke- empat angka 2);
3. Subrogasi
Subrogasi adalah Penggantian hak–hak oleh pihak ketiga yang membayar kepada Kreditur. Subrogasi menghendaki terjadinya pergantian Kreditur lama kepada Kreditur baru. Sebagai contoh, Debitur A melakukan perjanjian utang piutang dengan Kreditur B. dikarenakan Kreditur B sangat membutuhkan dana dari pinjaman uang yang dilakukan oleh Debitur A, maka terdapat 2 (dua) kemungkinan agar dana pinjaman Kreditur B tersebut kembali, yaitu pertama, Kreditur B mencari Kreditur C (sebagai kreditur baru) untuk menggantikan posisinya sebagai kreditur. Artinya, Kreditur B mengalihkan piutangnya dengan cara meminta kepada Kreditur C untuk melunasi hutang dari Debitur A, sehingga nantinya yang memiliki hubungan utang piutang adalah Debitur A dan Kreditur C.
Dalam web page kamus besar.com subrogasi (subrogation) diartikan dengan pengalihan kreditur kepada pihak lain yang telah melakukan pembayaran atas utang debitur sehingga pihak lain tersebut menggantikan kedudukan sebagai kreditur; dengan demikian, segala hak dan kewajiban debitur beralih kepadanya.3
Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 KUHPerdata. Disebutkan dalam pasal tersebut subrogasi adalah penggantian hak-hak oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur. Subrogasi dapat terjadi baik melalui perjanjian maupun karena ditentukan oleh undang-undang. Subrogasi harus dinyatakan secara tegas karena subrogasi berbeda dengan pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada kreditur adalahuntukmenggantikankedudukankrediturlama,bukanmembebaskandebiturdari kewajibanmembayarutangkepadakreditur.
Subrogasi umumnya diterapkan dalam polis asuransi kerugian (general insurance) dan perawatan kesehatan. Klien yang diasuransikan menerima pembayaran dengan segera oleh perusahaan asuransinya; kemudian perusahaan asuransi dapat mengajukan klaim subrogasi terhadap pihak yang bersalah atas kerugian tersebut. Polis asuransi lazimnya memberikan hak kepada perusahaan asuransi, setelah kerugian dibayarkan pada klaim, untuk meminta ganti rugi dari pihak ketiga jika pihak tersebut menyebabkan kerugian.
Pada praktek bisnis syariah perusahaan asuransi syariah juga melakukan kegiatan subrogasi ini. Sebagaiman lazim terjadi pada asuransi jaminan pembiayaan. bank mengasuransikan jaminan pembiayaan atau objek pembiayaan yang berupa kendaraan, ketika kendaraan tersebut hilang maka pihak asuransi membayar klaim kepada nasabah dan bank menyerahkan bukti BPKB atas kendaraan yang hilang kepada perusahaan asuransi.
Dewan Syariah Nasional MUI melalui fatwa Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 telah memberikan petunjuk mengenai Subrogasi syariah. Fatwa tersebut menyinggung hawalah sebagai akad pengalihan hutang, namun tidak secara tegas menyebut bahwa subrogasi syariah dijalankan berdasarkan akad hawalah, hal ini dapat difahami karena subrogasi tidak semata mata sama persis dengan akad hawalah, ada praktek praktek yang berbeda dengan hawalah secara ansich, diantaranya adalah adanya kombinasi dengan akad wakalah antara da’in (kreditur) baru dengan da’in (kreditur) lama dalam pembelian objek jual beli (sil’ah).
Fatwa DSN MUI Nomor 104 Tahun 2016 mengenal praktek subrogasi secara syariah dapat dilakukan melalui tiga mekanisme, yaitu :
Pertama Subrogasi Tanpa Kompensasi (‘iwadl), yaitu subrogasi atau pengalihan piutang antara kreditur lama dengan kreditur baru tanpa adanya kompensasi.
Kedua, Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadl) tanpa disertai akad wakalah pembelian barang, keditur baru menyerahkan barang kepada kreditur lama untuk membayar piutang kreditur lama.
Ketiga, Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadl) disertai dengan wakalah pembelian barang, model ini dilakukan dengan cara kreditur baru memberikan kuasa (wakalah) kepada kreditur lama untuk membeli barang yang akan dijadikan harga/pembayaran.
Untuk memberikan panduan yang lengkap terhadap implementasi subrogasi secara syariah, Fatwa DSN MUI Nomor 104 memberikan beberapa ketentuan khusus sebagai berikut :
a. Piutang uang (al-dain al-naqdi) hanya boleh dialihkan dengan barang (sil'ah) sebagai alat bayar (tsaman);
b. Piutang yang akan dialihkan harus jelas jumlah dan spesifikasinya;
c. Piutang yang dialihkan tidak sedang dijadikan jaminan (al-rahn). Piutang yang sedang dijadikan jaminan boleh dijual setelah mendapat izin dari penerima jaminan;
d. Barang (sil'ah) yang dijadikan sebagai alat pembayaran (tsaman) harus barang yang halal, jelas jenis serla nilainya sesuai kesepakatan;
e. Ketika transaksi pengalihan piutang dilakukan, da'in baru harus sudah rnemiliki sil'ah yang akan dijadikan tsaman, baik dibeli di Bursa maupun di luar Bursa, baik dibeli sendiri maupurl melalui wakil;
f. Pembayaran harga atas pengalihan piutang harus dilakukan secara tunai; dan
g. Subrogasi hanya boleh dilakukan atas piutang yang sah berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Novasi
Novasi adalah Pembaharuan Utang yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dimana Pihak Kreditur dan Debitur bersepakat untuk menghapuskan perikatan lama dan menggantinya dengan perikatan baru.
Pasal 1413 KUHPerdata menguraikan terdapat 3 (tiga) jenis novasi, sebagai berikut:
1) Apabila seorang debitur membuat perikatan utang baru bagi kreditur untuk menggantikan perikatan yang lama yang dihapuskan karenanya. Hal inilah yang disebut novasi objektif;
2) Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan seorang debitur lama yang dibebaskan dari perikatannya. Hal ini disebut novasi subjektif pasif;
3) Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, ditunjuk seorang kreditur baru, untuk menggantikan kreditur lama terhadap siapa si debitur dibebaskan dari perikatannya. Hal ini disebut novasi subjektif aktif.
Secara rinci KUHPerdata menguraikan ketentuan mengenai novasi dari Pasal 1413 sampai dengan Pasal 1424.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengakomodir praktik Novasi dalam bisnis syariah dengan mengafirmasi Fatwa Nomor 103/DSN-MUI/X/2016 tentang Novasi subjektif berdasarkan prinsip syariah. Bagian ketiga fatwa DSN tersebut mengenai ketentuan akad menegaskan impelementasi hawalah dalam novasi sebagai berikut :
1. Novasi subjektif aktif yang berupa penggantian da'in berlaku ketentuan hawalat al- haqq; dan
2. Novasi subjektif pasif yang berupa penggantian madin berlaku ketentuan hawalat al- dain.
Untuk mengimplementasikan Novasi dalam bingkai ekonomi syariah, DSN MUI dalam fatwa Nomor 103 telah memberikan beberapa ketentuan khusus diantaranya sebagai berikut :
1. Kehendak untuk rnengadakan novasi subjektif harus dinyatakan secara tegas dan jelas oleh para pihak dalam akta perjaniian;
2. Dalam akta perjanjian novasi subyektif pasif harus dinyatakan secara tegas mengenai pernbebasan madin lama dari utangnya;
3. Dalam akta perjanjian novasi subjektif aktif harus dinyatakan secara tegas mengenai pembebasan da'in lama dari piutangnya;
4. Dalam novasi subjektif pasif (penggantian madin) dengan obyek pembiayaan murabahah, pengalihan utang oleh madin lama kepada madin baru dilakukan atas dasar itikad baik para pihak;
5. Mekanisme novasi subjektif pasif (penggantian madin) dapat dilakukan dengan menggunakan akad hawalah bil uirah dengan berpedoman pada fatwa DSN-MUI Nomor 58/DSN-MUL1V12007 tentang Hawalah bil Ujrah;
6. Novasi subjektif hanya boleh dilakukan atas utang-piutang yang sah berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Ketentuan mengenai jaminan dan pengikatannya diatur sesuai dengan kesepakatan
B. Komparasi
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan karakteristik masing masing kontrak tersebut sebagai berikut :
Hawalah mempunyai sifat sebagai berikut :
1) Tolong menolong
2) Tidak boleh menimbulkan riba
3) Tidak digunakan untuk objek transaksi yang haram atau maksiyat
4) Hawalah harus dilakukan dengan akad secara tertulis
5) Hawalah dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak terkait
6) Jika hawalah telah dilakukan maka hak penagihan muhal berpindah kepada muhal alaih.
Cessie memiliki sifat berikut ini:4
1) Dalam Cessie, perjanjian accesoirnya tidak dihapus hanya beralih kepada pihak ketiga sebagai Kreditur Baru;
2) Utang Piutang lama tidak dihapus hanya beralih kepada kepada pihak ketiga sebagai Kreditur baru;
3) Dalam Cessie, debitur bersifat pasif, ia hanya diberitahukan siapa kreditur baru agar ia dapat melakukan pembayaran kepada kreditur baru;
4) Bagi Cessie selalu diperlukan suatu akta.;
5) Cessie hanya berlaku kepada Debitur setelah adanya pemberitahuan.
Sedangkan Subrogasi memiliki sifat sebagai berikut:5
1) Subrogasi merupakan Perjanjian yang bersifat Accesoir, dimana perjanjian tersebut ikut beralih kepada Kreditur Baru mengikuti perjanjian pokoknya;
2) Dalam Subrogasi, utang piutang yang lama dihapus, untuk kemudian dihidupkan lagi bagi kepentingan Kreditur Baru;
3) Dalam Subrogasi, Pihak Ketiga membayar kepada Kreditur, Debitur adalah pihak yang pasif;
4) Subrogasi tidak mutlak harus menggunakan akta, kecuali bagi Subrogasi yang lahir dari perjanjian dimana Debitur menerima uang dari pihak ketiga untuk membayar utang-utangnya kepada Kreditur;
5) Dalam Subrogasi, Pemberitahuan diperlukan tetapi bukan merupakan syarat bagi berlakunya Subrogasi;
6) Subrogasi harus dinyatakan dengan tegas karena tujuan pihak ketiga membayar kepada Kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan Kreditur Lama sehingga Pihak Ketiga dapat memperoleh hak penuh atas Debitur;
7) Subrogasi harus dilakukan tepat pada waktu pembayaran.
Sedangkan novasi memiliki sifat berikut ini:
1) Dalam Novasi, perjanjian accesoirnya turut dihapus jika perjanjian pokoknya hapus, kecuali para pihak secara tegas menyatakan sebaliknya;
2) Dalam Novasi, utang piutang yang lama dihapus dan digantikan dengan utang piutang yang baru;
3) Novasi pada hakikatnya merupakan hasil perundingan segitiga yaitu antara Pihak Kreditur, Debitur dan Pihak Ketiga, dimana Para Pihak tersebut bersifat aktif;
4) Novasi tidak mutlak harus menggunakan akta;
5) Dalam Novasi, Pemberitahuan tidak diperlukan karena Novasi dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak;
Selain itu terdapat beberapa perbedaan spesifik sebagai berikut : dalam Subrogasi, perikatan antara kreditur lama dan Debitur hapus karena pembayaran. Kemudian, Novasi hapusnya perikatan antara Kreditur dan Debitur atas kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan, dalam cessie perikatan tidak dihapus hanya beralih kepada pihak ketiga sebagai Kreditur Baru.
PENUTUP
Dalam konsepsi hukum perdata, hawalah hampir sama dengan lembaga pengambilalihan utang (schuldoverneming), lembaga pelepasan utang atau penjualan utang (debt sale), atau lembaga penggantian kreditor atau penggantian debitor. Dalam hukum perdata, dikenal lembaga yang disebut subrogasi, cessie dan novasi, yaitu lembaga hukum yang memungkinkan terjadinya penggantian kreditor atau debitor.
Berbagai bentuk penyelesaian utang berdasarkan hukum perdata dengan cara subrogasi, cessie dan novasi, yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah harus menghilangkan unsur unsur non halal yang mungkin terjadi dalam beberapa jenis transaksi tersebut. Hal ini mengacu kepada fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia telah mengakomodir transaksi yang mengandung karakter hawalah ke dalam bisnis ekonomi syariah.
Hal ini membuktikan keluwesan dan keluasan hukum ekonomi syariah dapat diimplementasikan secara simultan dalam bisnis modern saat ini.
Daftar Bacaan
Amran Suadi, Dr.Drs SH.,M.Hum.,MM., Eksekusi Jaminan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Jakarta, Kencana, 2019
Suharnoko SH.,M.LI et.al, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek, Code Civil Prancis dan Common Law,
Novanda Eka Nurazizah, Implementasi Akad Hiwalah Dalam Hukum Ekonomi Islam Di PerbankanSyariah,Artikel,Tth
1https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3400/permasalahan‐cessie‐dan‐subrogasi/, diakses pada18 Mei2021
2Ibid.,
3https://www.kamusbesar.com/subrogasi, diakses pada 21 Mei2021
4 https://bizlaw.co.id/apa itu subrogasi novasi dan cessie, diakses pada 20 Mei 2021
5 Ibid.,